
IQRA BISMI RABBIKA adalah interaksi pertama manusia dengan Allah sebagai Rabb. Interaksi pertama ini menerobos kesadaran ilahiyah dan menyentuh fitrah insaniyah setiap manusia. Perintah IQRA pada dasarnya menuntun setiap insan untuk dengan sungguh-sungguh mendayagunakan potensi akalnya dalam mengenali keberadaan dirinya di alam kehidupan dunia ini. Betapa pentingnya hal ini sampai rasul mengatakan bahwa tidaklah mungkin manusia bisa mengenali Allah dengan benar tanpa mengenali jati dirinya sebagai makhluk“Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”Barangsiapa mengenali dirinya maka sungguh ia telah mengenali rabbnya. (sumaryana/red)
Allah memberikan kita potensi diri yang sempurna berupa Akal (16:78, 17:36), Hati/Ruhani (91:7 – 8) dan Jasmani (95:5, 64:3),
Potensi tersebut merupakan potensi dasar yang mencakup segala apa yang ada pada diri maupun yang diluar dari diri manusia yang dapat dikuasai, dikembangkan serta dipergunakan untuk kepentingan hidup manusia. Potensi pada diri manusia secara utuh telah ada sejak awal penciptaan yang kemudian tumbuh dan berkembang seiring perjalanan hidup manusia. Potensi ini meliputi:
1. Akal Alqur’an tidak merujuk makna akal itu kepada otak yang berpusat di kepala, tetapi pada potensi dasar manusia untuk dapat mengetahui dan memahami hakikat dirinya dan alam kehidupan agar dapat menjalankan kehidupan dengan benar, yakni mencakup komponen penglihatan, pendengaran serta qalbu.
2. Hati/Ruhani Potensi hati/Ruhani (Nafsiyah) adalah komponen dasar yang menjadikan manusia hidup, disinilah letaknya keimanan yang senantiasa dipengaruhi oleh kecenderungan pada kefasikan atau pada ketaqwaan.
3. Jasmani Potensi jasmani adalah potensi lahiriah yang dengannya manusia bisa menjalankan kehidupannya di dunia. Sebagaimana potensi lainnya, potensi jasmani manusia telah Allah sempurnakan baik dalam hal bentuk/rupa (ahsani taqwim) maupun dalam fungsinya (ahsana suwara).
Selain ketiga potensi dasar itu, Allah juga telah memberikan potensi diluar diri manusia yaitu berupa Huda sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia. Oleh karenanya Allah memuliakan manusia dengan mengajarkan al-Qolam (Wahyu) (96: 4-5).
Maka atas karunia dimuliakan-Nya penciptaan manusia, hendaklah manusia bersyukur kepada Allah ( 82 : 6-8, 67 : 23) dengan bertaqwa kepada Allah (49:13).
2. Status, Fungsi dan Peran Manusia (Kesadaran Kedudukan)Eksistensi Manusia sebagai Mukallaf (yang mendapatkan beban) yang diberikan pembebanan atau tuntutan dari Allah (2: 286).
Yukallifu pada kalimat laa yukallifullahu memiliki bentukan kata kallafa yukallifu taklif كَلَّف – يُكَلِّفُ – تَكْلِيْف yang berarti memberi beban, memerintahkan, menugaskan. Maka taklif Allah kepada manusia adalah pemberian tugas dari Allah kepada manusia. Taklif Allah kepada manusia adalah sesuai kehendak/tujuan penciptaan manusia yaitu menghamba hanya kepada Allah (51 : 56).
Maka ibadah kepada Allah hakikatnya adalah menetapkan status diri sebagai hamba (‘abid) kepada Allah yang disembahnya (ma’bud) yang dibuktikan dengan amal perbuatan (‘ibadah).
Sebagai hamba-Nya, manusia diberi mandat fungsi dan peran di bumi sebagai khalifah (2:30)
Dijadikan-Nya manusia sebagai khalifah adalah untuk menjalankan kehendak Allah di muka bumi yaitu untuk memimpin, memakmurkan, menyebarkan keadilan (6:65, 11:61, 57:25, 38:26).
Taklif menghamba kepada Allah dengan mandat fungsi dan peran sebagai khalifah itulah amanah Allah/ amanah taklif (33:72).
Amanah secara bahasa bermakna wadi’ah (titipan) dan al-wafa’ (memenuhi). Amanah adalah lawan dari khianat, Kata amanah memiliki asal kata yang sama dengan iman yaitu al-Amnu الأَمْنُ yang berarti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut.
Seorang hamba Allah yang amanah adalah yang memenuhi apa yang dititipkan kepadanya (4:58),
Amanah Allah atas manusia pada hakikatnya merupakan sebuah kepercayaan Allah atas manusia sebagai tanggung jawab besar yang wajib ditunaikan (2:283), dan tidak boleh dikhianati (8:27)Orang-orang yang beriman wajib untuk memelihara amanah yang dibebankan kepadanya sebagai bukti keimanan (23:8)
Setiap amanah yang dibebankan kepada manusia pada akhirnya akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah di hari kiamat (99:7-8). Allah menjanjikan kepada orang yang memelihara amanah kemuliaan hidup di dunia dan akherat ( 23 : 8-11, 70 : 32-35).
3. Derajat Hidup Manusia (Kesadaran Kehidupan) Eksistensi manusia selanjutnya adalah sebagai Mukhayyar (diberikan pilihan hidup). Dengan keistimewaan akal dan hatinya, manusia diciptakan sebagai makhluq yang diberikan pilihan, yang bebas memilih (91:71-10, 2:256, 10:99) dan menentukan nasibnya sendiri (90:10; 76:3; 64:2; 18:29).
Setiap manusia dalam kehiupan di alam dunia ini akan pasti dihadapkan pada pilihan tersebut yaitu apakah akan memilih menjadi manusia mulia dihadapan Allah/Indallah yaitu yang bertaqwa (49:13), atau makhluq paling hina (7 : 179, 8 : 22).
Bila pilihan hidupnya ingin mulia dihadapan Allah maka visi dan misi hidupnya hanya bertaqwa kepada Allah (49:13)
Bertaqwa kepada Allah berarti bersungguh-sungguh menghadapkan diri kepada Allah dengan dilandasi oleh keimanan. Maka konsekuensinya adalah hidup menghamba hanya kepada Allah (2:21)
(1) Dasar/mabda iman (2:177), Inilah pondasi /mabda dalam kehidupan dari orang-orang yang menetapi kemuliaan di sisi Allah yaitu keimanan. Iman kepada Allah sebagai rabbul A’lamin, Arrahmaan Arrahim dan Malikiyaumiddin.
(2) Menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup/manhaj (2:2, 2:63, 3:138), Maka berikanlah petunjuk kepada kami agar dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar pada jalan yang lurus yang Engkau ridhai.
Untuk menunjukkan jalan yang lurus tersebut, Allah menurunkan hudan kepada manusia melalui para Rasul yang diutus-Nya. Hudan tersebut diturunkan oleh Allah untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman agar dapat menjalankan kehidupan yang diridhai oleh Allah. Diantara hudan tersebut adalah taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, kemudian diturunkan kembali Zabur di masa Nabi Daud, lalu Injil di masa nabi Isa hingga pada akhirnya disempurnakan dengan AlQuran di masa Nabi Muhammad. AlQuran inilah hudan yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Maka orang-orang yang ditunjukkan jalan oleh Allah adalah mereka yang memegang teguh AlQuran sebagai pedoman /manhaj dalam kehidupannya.
(3) Jalan hidup/thariqul hayat adalah al-Islam/ As-Shirotol al-Mustaqim (1:6, 6:153, 9:119) Shirathal mustaqiem adalah jalan hidup yang lurus dengan berpedoman pada wahyu dari Allah yakni AlQuran. Jalan yang lurus tersebut dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 161: “Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) Dien yang benar (Dien Islam); Dien Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang yang musyrik”. Maka pada hakikatnya shirathal mustaqiem yang menjadi jalan hidup yang diridhai oleh Allah adalah Islam.
(4) Buktinya ; melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah dan Islam sebagai Shirathal Mustaqiem secara bahasa berarti berserah diri, dan orang yang berislam (muslim) adalah orang yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah. yaitu tunduk patuh terhadap segala apa yang menjadi kehendak Allah atas dirinya. Tegasnya orang yang berislam adalah orang yang membuktikan keimanannya dalam kehidupan dengan mentaati segala Perintah Allah dan Menjauhi segala larangan-Nya.
(5) Orientasi hidup/Ghoyyah keselamatan di akherat (6:32, 12:57, 13:35).Shirathal mustaqiem itu adalah shirat (jalan) yang ditempuh oleh orang-orang beriman terdahulu yang telah membuktikan keimanan mereka dan telah mendapatkan ni’mat yang sejati di sisi Allah SWT.
Merekalah orang-orang yang telah mendapatkan karunia ni’mat dari Allah, ni’mat lahiriyah dan bathiniah serta selamat hidup di dunia dan akhirat. Maka itulah yang menjadi tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman yakni untuk meraih sukses hidup di dunia dan akhirat sebagaimana halnya orang-orang yang telah dikaruniai ni’mat oleh Allah.
Namun apabila terjadi penyimpangan misi dan visi hidup, mereka akan menjadi makhluq paling hina (7 : 179, 8 : 22). Sebab mereka menempuh jalan yang dimurkai oleh Allah (Al-maghdub) atau Dzalim dan jalan yang sesat (Ad-Dholal) atau Jahil (1 : 7, 33:72).
Sifat zhalim dan jahil merupakan tabiat dasar dari manusia dimana tanpa adanya petunjuk dari Allah niscaya tidak akan ada satu manusiapun yang akan selamat dari azab-Nya. Petunjuk hidup tersebut merupakan wujud rahmat Allah atas umat manusia yang diturunkan-Nya bersamaan dengan diutus-Nya para Rasul.
Sedangkan orang-orang kafir memilih jalan hidup yang salah, yakni kehidupan tanpa cahaya petunjuk dari Allah. Merekalah orang-orang yang zhalim dan jahil. Zhalim karena telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dengan meninggalkan jalan keselamatan (Dien Islam) dan jahil karena memilih hidup dalam kesesatan dengan meninggalkan petunjuk hidup yang benar (Hudan).
Terhadap jalan hidup yang ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, diantara manusia ada yang telah mengetahui dengan jelas jalan yang lurus tersebut, bahkan telah menyatakan dengan lisannya keimanan dan diantaranya juga ada yang telah mengikatkan perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, namun kemudian memilih untuk meninggalkannya dan lebih memilih kehidupan dunia. Merekalah orang-orang yang mendapat kemurkaan dari Allah (al-maghdub alaihim).
Menjaga kemuliaan manusia disisi Allah hanya dengan menunaikan amanah Allah, maka segala aktifitas hidup hanya “atas nama” Allah… ber-Bismillah : Wa’bud Rabbaka Hatta Ya’tiyakal Yaqien / Hidup adalah pengabdian (15:99),
Beribadah kepada Allah pada dasarnya adalah menjadikan Allah sebagai Ilah. Yakni dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya (aslama) dengan hanya mengharapkan ridha Allah/Ibtigha’a Wajhi Rabb (13:22, 4:114), maka komitmen hidupnya “sesungguhnya shalatku, ibadahku,hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan semesta Alam” (6:162).
Seseorang yang telah menyerahkan diri dan kehidupannya kepada Allah berarti sudah kehilangan kepemilikan dirinya karena semuanya telah diserahkan hanya kepada Allah. Bahkan ditegaskan kemudian laa syarika lahu tiada sesuatupun untuk selain Allah, yakni seutuhnya dan sepenuhnya hanya untuk Allah. Maka seseorang yang telah menyatakan berserah diri kepada Allah berarti dia telah meneguhkan status dirinya sebagai ‘abdi (hamba) dari Allah.
Seorang hamba Allah pasti hanya akan menjalankan segala apa yang dikehendaki oleh Sang Pemilik dirinya. Tunduk patuh sepenuhnya hanya kepada Allah saja (mukhlisiina) dalam menjalani kehidupan di alam dunia.
Oleh karena itu segala aktifitas kehidupan yang dilakukan oleh seorang hamba Allah pastilah merupakan wujud pengabdian kepada-Nya, yakni pasti atas izin dan perintah dari Allah, didasarkan pada ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah (syariat Islam), serta semata-mata ditujukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah (liyabtigha’a mardhatillah). Inilah yang disebut dengan bismillah (atas nama Allah) yaitu menjalankan kehidupan sebagai pengabdian kepada Allah.
4. Perjalanan Hidup Manusia (Kesadaran Kematian)Hidup manusia di dunia bersifat sementara (6 :32, 29 :64 )
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”. Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)
Manusia pertama yakni Nabi Adam as memulai kehidupannya bertempat tinggal di surga. Allah kemudian menurunkannya ke dunia ini sebagai cobaan. Kedatangan Adam di dunia adalah seperti datangnya orang asing, karena sebenarnya tempat tinggalnya dan orang yang mengikutinya dalam beribadah kepada Allah adalah di surga.
Hakikat manusia seperti orang asing atau musafir, datang ke dunia kemudian pergi meninggalkannya. Kematian akan menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang wajib untuk memberikan perhatian pada dirinya. Musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah kelalaian tentang hakikat dunia yang sebenarnya, yakni bahwa dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha, negeri yang sementara dan tidak kekal.
Disadari atau tidak manusia sebagaimana makhluk lainnya terikat oleh ketentuan ajal, yakni masa kehidupan yang telah ditentukan kapan berakhirnya. Sebagaimana halnya kehidupan alam dunia ini yang akan berakhir dengan kiamat besar, maka setiap manusia yang dihidupkan di alam dunia ini akan pasti mengalami kiamat yang mengakhiri masa hidupnya di dunia, yakni kematian.
Akhir kehidupan manusia adalah Kematian
Menurut Imam al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa kematian itu adalah perpindahan keadaan, di mana ruh seseorang tetap ada walaupun telah terpisah dengan jasad, dan keadaan ruh bisa dalam siksaan maupun kenikmatan. Kematian merupakan perpindahan dan perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya dan dari suatu tempat ke tempat lainnya.yakni perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, di mana ruh dan jasad akan berpisah dengan mendapatkan siksaan maupun kenikmatan di sisi Allah.
Perubahan kematian menjadikan seseorang meninggalkan jasad, keluarga dan hartanya di dunia serta akan nampak baginya perkara yang belum pernah dilihatnya di dunia sebagaimana ia bangun dari tidurnya kemudian akan melihat perkara yang tidak nampak dalam tidur.
Allah SWT menjelaskan sifat kematian dalam AQ;1. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (3 : 185)
2. Kematian telah ditentukan waktunya (63 : 11, 10 : 49)
3. Kematian datang secara tiba-tiba (31 : 34)
4. Akan mengejar siapapun walaupun ia lari menghindar (62 : 8), meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh (4 : 78), karena kematian bersifat memaksa (3 : 154, 6 : 93)Kematian adalah Awal Kehidupan Abadi
Sehingga bagi orang yang beriman kematian bukan persoalan dimana, kapan, dengan cara apa, akan tetapi dalam keadaan apa kita dimatikan? Karena kematian bukan akhir kehidupan manusia akan tetapi awal dari kehidupan yang kekal abadi (6 : 2 , 23 : 15-16, 22 :7).
Maka eksistensi manusia selanjutnya sebagai makhluq yang akan mendapat pembalasan (majzi). Manusia akan mendapatkan balasan sesuai keberadaannya di dunia, Allah akan memberikan balasan secara adil dan proporsional di akhirat berupa syurga (102: 8; 32:19; 22:14; 2:25) dan neraka (17:36; 53:38-41; 2:25)
Khusnul Khotimah = mati dalam keadaan muslim
Dengan kesadaran bahwa hidup didunia adalah sementara dan di akhiratlah kehidupan yang abadi maka setiap manusia hendaknya bersungguh-sungguh mempersiapkan diri agar selamat dan tidak merugi kelak di akhirat. Syarat minimal agar manusia bisa selamat hidupnya di akhirat adalah Muslim sebagaimana telah Allah peringatkan dalam Al-Qur’an.
Orang yang beriman kepada Allah dan kepada perjumpaan dengan-Nya kelak di Akhirat pastinya akan berupaya sungguh-sungguh menjalani kehidupan agar sesuai dengan kehendak Allah SWT, yakni dengan menjalani hidup di dunia dengan ber-iman dan ber-amal sholeh (beribadah kepada Allah saja). Itu semua dilandasi dengan keyakinan sepenuhnya bahwa kita berasal dari Allah dan akan pasti kembali kepada-Nya ..lnna llaihi Raaji’un.
Jika kita pastinya akan kembali kepada Allah, kita tentunya akan mepersiapkan diri kita dengan sebaik-baik mungkin agar kita nantinya ketika kita kembali kepada Sang Pemilik akan diterima selapang-lapangnya. Persiapan diri dalam hidup ini adalah dengan menjadi hamba-Nya yang beriman sepenuhnya hanya kepada Allah serta mengisi hidup dengan amal sholeh yang akan diterimanya (diridhoiNya), atau dengan kata lain hidup sebagai muslim hingga ketika kita menemui ajal akan mati telah berada dalam derajat muslim (wa laa tamuutunna illa wa antum muslimuum).Misi Hidup Seorang Muslim
Oleh karenanya, Misi hidup hakiki seorang muslim adalah untuk meraih kesuksesan hidup berupa keridhaan Allah kelak di Akhirat dengan menjadikan kehidupan di dunia sebagai sarana untuk mencapai itu. Misi hidup ini dijalankan dengan cara mengimani Allah serta mengisinya dengan berbagai amal sholeh yang akan diterima oleh Allah. Maka hidup kita akan sesuai dengan doa yang senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT adalah agar mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, fi-dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah (sukses dunia akherat) (2 : 201) hanya dengan menjalani hidup di dunia dengan ber-iman dan ber-amal sholeh (beribadah kepada Allah saja) (59 : 18, 2 : 254, 2 : 110, 2 : 48).
Khulasoh
Jadilah insan yang sadar diri. Sadar bahwa diri ini sejatinya adalah milik Allah Inna Lillah, yang diciptakan, dimuliakan dan diberi pilihan dalam kehidupan. Wujud syukur kepada sang Maha pencipta adalah menerima amanah Allah, amanah taklif menjadi orang yang bertaqwa dengan hanya menghamba kepada-Nya dan melaksanakan fungsi peran sebagai khalifah-Nya karena hidup didunia sementara dan akan kembali kepada Allah Inna Ilaihi Roji’un yang akan meminta pertanggung-jawaban kelak di akherat. Maka misi hidup hamba Allah adalah fi-dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah, sukses hidup dunia akherat.
Masaha allah.. semoga kita menjadi orang yg gembar membaca dan terus mencari ilmu